Senin, 21 Januari 2013

Alamat Salon Plus Makassar

Sobat-sobat berada dalam artikel : Alamat Salon Plus Makassar
selamat membaca dan menikmati semoga bisa
menambah gairah dalam menghadapi kehidupan.....

Untuk sementara waktu artikel tentang : Alamat Salon Plus Makassar
sedang kami edit ulang untuk kepuasan smua pengunjuang blog.
setelah lengkap dan akurat segera kami posting kembali
artikelnya, trims sebelumnya

Untuk pengganti sementara artikel yang sobat2 cari, admin ganti
dengan cerita plus dibawah ini ya...
semoga ceritanya bisa menghibur sobat-sobat...

Dokter Miranti

Dalam sebuah seminar sehari di hall Hotel Hilton International di Jakarta,
tampak seorang wanita paruh baya berwajah manis sedang membacakan sebuah makalah
tentang peranan wanita modern dalam kehidupan rumah tangga keluarga bekerja.
Dengan tenang ia membaca makalah itu sambil sesekali membuat lelucon yang tak
ayal membuat para peserta seminar itu tersenyum riuh. Permasalahan yang sedang
dibahas dalam seminar itu menyangkut perihal mengatasi problem perselingkuhan
para suami yang selama ini memang menjadi topik hangat baik di forum resmi
ataupun tidak resmi. Beberapa peserta seminar yang terdiri dari wanita karir,
ibu-ibu rumah tangga dan para pelajar wanita itu tampak serius mengikuti
jalannya seminar yang diwarnai oleh perdebatan antara pakar sosiologi keluarga
yang sengaja diundang untuk menjadi pembicara. Hadir juga beberapa orang
wartawan yang meliput jalannya seminar sambil ikut sesekali mengajukan
pertanyaan ke arah peserta dan pembicara. Suasana riuh saat wanita pembicara itu
bercerita tentang seorang temannya yang bersuamikan seorang pria mata keranjang
doyan main perempuan. Berbagai pendapat keluar dalam perdebatan yang diarahkan
oleh moderator.

Diakhir sesi pertama saat para peserta mengambil waktu istirahat selama tiga
puluh menit, tampak wanita pembicara itu keluar ruangan dengan langkah cepat
seperti menahan sesuatu. Ia berjalan dengan cepat menuju toilet di samping hall
tempat seminar. Namun saat melewati lorong menuju tempat itu ia tak sadar
menabrak seseorang, akibatnya ia langsung terhenyak.
“Oh…, maaf, saya tidak melihat anda…, maaf ya?”, seru wanita itu pada orang
yang ditabraknya, namun orang itu seperti tak mengacuhkan.
“Oke…”, sahut pria muda berdasi itu lembut dan berlalu masuk ke dalam toilet
pria.

Wanita itupun bergegas ke arah toilet wanita yang pintunya berdampingan dengan
pintu toilet pria. Beberapa saat lamanya wanita itu di sana lalu tampak lelaki
itu keluar dari toilet dan langsung menuju ke depan cermin besar dan mencuci
tangannya. Kemudian wanita tadi muncul dan menuju ke tempat yang sama, keduanya
sesaat saling melirik. “Hai”, tegur pria itu kini mendahului.
“Halo…, anda peserta seminar?”, tanya si wanita.
“Oh, bukan. Saya bekerja di sini, maksud saya di hotel ini”, jawab pria itu.
“Oh…, kalau begitu kebetulan, saya rasa setelah seminar ini saya akan kontak
lagi dengan manajemen hotel ini untuk mengundang sejumlah pakar dari Amerika
untuk seminar masalah kesehatan ibu dan anak. Ini kartu namaku”, kata wanita itu
sambil mengulurkan tangannya pada pria itu. Lelaki itu mengambil secarik kartu
dari dompetnya dan menyerahkannya pada wanita itu.

“Dokter Miranti Pujiastuti, oh ternyata Ibu ini pakar ilmu kedokteran ibu dan
anak yang terkenal itu, maaf saya baru pertama kali melihat Ibu. Sebenarnya saya
banyak membaca tulisan-tulisan Ibu yang kontroversial itu, saya sangat mengagumi
Ibu”, mendadak pria itu menjadi sangat hormat.
“Ah kamu, jangan terlalu berlebihan memuji aku, dan kamu…, hmm…, Edo
Prasetya, wakil General Manager Hilton International Jakarta. Kamu juga hebat,
manajer muda”, seru wanita itu sambil menjabat tangan pemuda bernama Edo itu
kemudian.
“Kalau begitu saya akan kontak anda mengenai masalah akomodasi dan acara seminar
yang akan datang, senang bertemu anda, Edo”, seru wanita itu sambil kemudian
berlalu.
“Baik, Bu dokter”, jawab sahut pria itu dan membiarkan wanita paruh baya itu
berlalu dari ruangan di mana mereka berbicara.

Sejenak kemudian pemuda itu masih tampak memandangi kartu nama dokter wanita itu,
ia seperti sedang mengamati sesuatu yang aneh.
“Bukankah dokter itu cantik sekali?”, ia berkata dalam hati.
“Oh aku benar-benar tak tahu kalau ia dokter yang sering menjadi perhatian
publik, begitu tampak cantik di mataku, meski sudah separuh baya, ia masih
tampak cantik”, benaknya berbicara sendiri.
“Ah kenapa itu yang aku pikirkan?”, serunya kemudian sambil berlalu dari ruangan
itu.

Sementara itu di sebuah rumah kawasan elit Menteng Jakarta pusat tampak sebuah
mobil memasuki halaman luas rumah itu. Wanita paruh baya bernama dokter Miranti
itu turun dari sedan Mercy hitam dan langsung memasuki rumahnya. Wajah manis
wanita paruh baya itu tampaknya menyimpan sebuah rasa kesal dalam hati. Sudah
seminggu lamanya suami wanita itu belum pulang dari perjalanan bisnis keluar
negeri. Sudah seminggu pula ia didera isu dari rekan sejawat suaminya tentang
tingkah laku para pejabat dan pengusaha kalangan atas yang selalu memanfaatkan
alasan perjalanan bisnis untuk mencari kepuasan seksual di luar rumah alias
perselingkuhan.

Wanita itu menghempaskan badannya ke tempat tidur empuk dalam ruangan luas itu.
Ditekannya remote TV dan melihat program berita malam yang sedang dibacakan
penyiar. Namun tak berselang lama setelah itu dilihatnya di TV itu seorang
lelaki botak yang tak lain adalah suaminya sedang berada dalam sebuah pertemuan
resmi antar pengusaha di Singapura. Namun yang membuat hati wanita itu panas
adalah saat melihat suaminya merangkul seorang delegasi dagang Singapura yang
masih muda dan cantik. Sejenak ia memandang tajam ke arah televisi besar itu
lalu dengan gemas ia membanting remote TV itu ke lantai setelah mematikan TV-nya.
“Ternyata apa yang digosipkan orang tentang suamiku benar terjadi, huh”, seru
wanita itu dengan hati dongkol.
“Bangsaat..!”, Teriaknya kemudian sambil meraih sebuah bantal guling dan
menutupi mukanya.

Tak seorangpun mendengar teriakan itu karena rumah besar itu dilengkapi peredam
suara pada dindingnya, sehingga empat orang pembantu di rumah itu sama sekali
tidak mengetahui kalau sang nyonya mereka sedang marah dan kesal. Ia menangis
sejadi-jadinya, bayang-bayang suaminya yang berkencan dengan wanita muda dan
cantik itu terus menghantui pikirannya. Hatinya semakin panas sampai ia tak
sanggup menahan air matanya yang kini menetes di pipi.

Tiga puluh menit ia menangis sejadi-jadinya, dipeluknya bantal guling itu dengan
penuh rasa kesal sampai kemudian ia jatuh tertidur akibat kelelahan. Namun tak
seberapa lama ia terkulai tiba-tiba ia terhenyak dan kembali menangis. Rupanya
bayangan itu benar-benar merasuki pikirannya hingga dalam tidurnyapun ia masih
membayangkan hal itu. Sejenak ia kemudian berdiri dan melangkah keluar kamar
tidur itu menuju sebuah ruangan kecil di samping kamar tidurnya, ia menyalakan
lampu dan langsung menuju tumpukan obat yang memenuhi sebagian ruangan yang
mirip apotik keluarga. Disambarnya tas dokter yang ada di situ lalu membuka
sebuah bungkusan pil penenang yang biasa diberikannya pada pasien yang panik.
Ditelannya pil itu lalu meminum segelas air.

Beberapa saat kemudian ia menjadi tenang kemudian ia menuju ke ruangan kerjanya
yang tampak begitu lengkap. Di sana ia membuka beberapa buku, namun bebarapa
lamanya kemudian wanita itu kembali beranjak menuju kamar tidurnya. Wajahnya
kini kembali cerah, seberkas senyuman terlihat dari bibirnya yang sensual. Ia
duduk di depan meja rias dengan cermin besar, hatinya terus berbicara.
“Masa sih aku harus mengalah terus, kalau bangsat itu bisa berselingkuh kenapa
aku tidak”, benaknya sambil menatap dirinya sendiri di cermin itu. Satu-persatu
di lepasnya kancing baju kerja yang sedari tadi belum dilepasnya itu, ia
tersenyum melihat keindahan tubuhnya sendiri. Bagian atas tubuhnya yang dilapisi
baju dalam putih berenda itu memang tampak sangat mempesona. Meski umurnya kini
sudah mencapai empat puluh tahun, namun tubuh itu jelas akan membuat lelaki
tergiur untuk menyentuhnya.

Kini ia mulai melepaskan baju dalam itu hingga bagian atas tubuhnya kini terbuka
dan hanya dilapisi BH. Perlahan ia berdiri dan memutar seperti memamerkan
tubuhnya yang bahenol itu. Buah dadanya yang besar dan tampak menantang itu
diremasnya sendiri sambil mendongak membayangkan dirinya sedang bercinta dengan
seorang lelaki. Kulitnya yang putih mulus dan bersih itu tampak tak kalah
mempesonakan.
“Kalau bangsat itu bisa mendapat wanita muda belia, kurasa tubuh dan wajahku
lebih dari cukup untuk memikat lelaki muda”, gumamnya lagi.
“Akan kumulai sekarang juga, tapi..”, tiba-tiba pikirannya terhenti.
“Selama ini aku tak pernah mengenal dunia itu, siapakah yang akan kucari? hmm..”.

Tangannya meraih tas kerja di atas mejanyanya, dibongkarnya isi tas itu dan
menemukan beberapa kartu nama, sejenak ia memperhatikannya.
“Dokter Felix, lelaki ini doyan nyeleweng tapi apa aku bisa meraih kepuasan
darinya? Lelaki itu lebih tua dariku”, katanya dalam hati sambil menyisihkan
kartu nama rekan dokternya itu.
“Basuki Hermawan, ah…, pejabat pajak yang korup, aku jijik pada orang seperti
ini”, ia merobek kartu nama itu.
“Oh ya…, pemuda itu, yah…, pemuda itu, siapakah namanya, Dodi?.., oh bukan.
Doni?.., oh bukan juga, ah di mana sih aku taruh kartu namanya..”, ia sibuk
mencari, sampai-sampai semua isi tak kerja itu dikeluarkannya namun belum juga
ia temukan.
“Bangsat! Aku lupa di mana menaruhnya”, sejenak ia berhenti mencari dan berpikir
keras untuk mencoba mengingat di mana kartu nama pemuda gagah berumur dua puluh
limaan itu. Ia begitu menyukai wajah pemuda yang tampak polos dan cerdas itu. Ia
sudah terbayang betapa bahagianya jika pemuda itu mau diajak berselingkuh.

“Ahaa! Ketemu juga kau!”, katanya setengah berteriak saat melihat kartu nama
dengan logo Hilton International. Ia beranjak berdiri dan meraih hand phone,
sejenak kemudian ia sudah tampak berbicara.
“Halo, dengan Edo…, maaf Bapak Edo?”.
“Ya benar, saya Edo tapi bukan Bapak Edo, anda siapa”, terdengar suara ramah di
seberang.
“Ah maaf…, Edo, saya Dokter Miranti, kamu masih ingat? Kita ketemu di Rest
Room hotel Hilton International tadi siang”.
“Oooh, Bu dokter, tentu dong saya ingat. Masa sih saya lupa sama Bu dokter idola
saya yang cantik”.
“Eh kamu bisa saja, Do”.
“Gimana Bu, ada yang bisa saya bantu?”, tanya Edo beberapa saat setelah itu.
“Aku ingin membicarakan tentang seminar minggu depan untuk mempersiapkan
akomodasinya, untuk itu sepertinya kita perlu berbicara”.
“No problem, Bu. Kapan ibu ada waktu”.
“Lho kok jadi nanya aku, ya kapan kamu luang aja dong”.
“Nggak apa-apa Bu, untuk orang seperti ibu saya selalu siap, gimana kalau besok
kita makan siang bersama”.
“Hmm…, rasanya aku besok ada operasi di rumah sakit. Gimana kalau sekarang
saja, kita makan malam”.
“Wah kebetulan Bu, saya memang lagi lapar. baiklah kalau begitu, saya jemput ibu”.
“Oohh nggak usah, biar ibu saja yang jemput kamu, kamu di mana?”.
“wah jadi ngerepotin dong, tapi oke-lah. Saya tunggu saja di Resto Hilton, okay?”.
“Baik kalau begitu dalam sepuluh menit saya datang”, kata wanita itu mengakhiri
percakapannya.

Lalu dengan tergesa-gesa ia mengganti pakaian yang dikenakannya dengan gaun
terusan dengan belahan di tengah dada. Dengan gesit ia merias wajah dan tubuh
yang masih tampak menawan itu hingga tak seberapa lama kemudian ia sudah tampak
anggun.
“Mbok..!”, ia berteriak memanggil pembantu.
“Dalem…, Nyaah!”, sahut seorang yang tiba-tiba muncul dari arah dapur.
“Malam ini ibu ndak makan di rumah, nanti kalau tuan nelpon bilang saja ibu ada
operasi di rumah sakit”.
“Baik, Nyah..”, sahut pembantunya mengangguk.
Sang dokter itupun berlalu meninggalkan rumahnya tanpa diantar oleh sopir.

Kini sang dokter telah tampak menyantap hidangan makan malam itu bersama pemuda
tampan bernama Edo yang berumur jauh di bawahnya. Maksud wanita itu untuk
mengencani Edo tidak dikatakannya langsung. Mereka mula-mula hanya membicarakan
perihal kontrak kerja antara kantor sang dokter dan hotel tempat Edo bekerja.
Namun hal itu tidak berlangsung lama, dua puluh menit kemudian mereka telah
mengalihkan pembicaraan ke arah pribadi.

“Maaf lho, Do. Kamu sudah punya pacar?”, tanya sang dokter.
“Dulu pernah punya tapi…”, Edo tak melanjutkan kalimatnya.
“Tapi kenapa, Do?”, sergah wanita itu.
“Dia kawin duluan, ah…, Emang bukan nasib saya deh, dia kawin sama seorang om-om
senang yang cuma menyenangi tubuhnya. Namanya Rani..”.
“Maaf kalau ibu sampai membuat kamu ingat sama masa lalu”.
“Nggak apa-apa kok, Bu. Toh saya sudah lupa sama dia, buat apa cari pacar atau
istri yang mata duitan”.
“Sukurlah kalau begitu, trus sekarang gimana perasaan kamu”.
“Maksud ibu?”.
“Perasaan kamu yang dikhianati, apa kamu masih dendam?”, tanya sang dokter
seperti merasa ingin tahu.
“Sama si Rani sih nggak marah lagi, tapi sampai sekarang saya masih dendam
kesumat sama om-om atau pejabat pemerintah yang seperti itu”, jelas Edo pada
wanita itu sembari menatapnya.

Sejenak keduanya bertemu pandang, Edo merasakan sebuah perasaan aneh mendesir
dadanya. Hanya beberapa detik saja keduanya saling memandang sampai Edo tersadar
siapa yang sedang dihadapinya.
“Ah, ma.., ma.., maaf, Bu. Bicara saya jadi ngawur”, kata pemuda itu terpatah-patah.”Oh
nggak…, nggak apa-apa kok, Do. Aku juga punya problem yang serupa dengan kamu”,
jawab wanita itu sambil kemudian mulai menceritakan masalah pribadi dalam
keluarganya. Ia yang kini sudah memiliki dua anak yang bersekolah di Amerika itu
sedang mengalami masalah yang cukup berat dalam rumah tangganya. Dengan penuh
emosi ia menceritakan masalahnya dengan suaminya yang seorang pejabat pemerintah
sekaligus pengusaha terkenal itu.
“Berkali-kali aku mendengar cerita tentang kebejatan moralnya, ia pernah
menghamili sekertarisnya di kantor, lalu wanita itu ia pecat begitu saja dan
membayar seorang satpam untuk mengawini gadis itu guna menutupi aibnya. Dasar
lelaki bangsat”, ceritanya pada Edo.
“Sekarang dia sudah berhubungan lagi dengan seorang wanita pengusaha di luar
negeri. Baru tadi aku melihatnya bersama dalam sebuah berita di TV”, lanjut
wanita itu dengan raut muka yang sedih.
“Sabar, Bu. Mungkin suatu saat dia akan sadar. Masa sih dia nggak sadar kalau
memiliki istri secantik ibu”, ujar Edo mencoba menghiburnya.
“Aku sudah bosan bersabar terus, hatiku hancur, Do. Kamu sudah tahu kan gimana
rasanya dikhianati? Dibohongi?”, sengitnya sambil menatap pemuda itu dengan
tatapan aneh. Wanita itu seperti ingin mengatakan sesuatu pada Edo.

Beberapa menit keadaan menjadi vacum. Mereka saling menatap penuh misteri. Dada
Edo mendesir mendapat tatapan seperti itu, pikirannya bertanya-tanya.
“Ada apa ini?”, gumamnya dalam hati. Namun belum sempat ia menerka apa arti
tatapan itu, tangannya tiba-tiba merasakan sesuatu yang lembut menyentuh, ia
terhenyak dalam hati. Desiran dadanya kini berubah menjadi getaran keras di
jantungnya. Namun belum sempat ia bereaksi atas semua itu tangan sang dokter itu
telah meremas telapak tangan Edo dengan mesra. Kini ia menatap wanita itu,
dokter Miranti memberinya senyuman, masih misteri.

“Edo…., kamu dan aku memiliki masalah yang saling berkaitan”, katanya perlahan.
“Ma…, maksud ibu?”, Edo tergagap.
“Kehidupan cinta kamu dirusakkan oleh generasi seumurku, dan rumah tanggaku
rusak oleh kehidupan bejat suamiku. Kita sama-sama memiliki beban ingatan yang
menyakitkan dengan musuh yang sama”.
“lalu?”.
“Kenapa tak kamu lampiaskan dendam itu padaku?”.
“Maksud ibu?”, Edo semakin tak mengerti.
“Aku dendam pada suamiku dan kaum mereka, dan kau punya dendam pada para pejabat
yang telah mengecewakanmu. Kini kau menemukan aku, lampiaskan itu. Kalau mereka
bisa menggauli generasimu mengapa kamu nggak menggauli kaum mereka? Aku istri
pejabat, dan aku juga dikecewakan oleh mereka”.
“Saya masih belum mengerti, Bu”.
“Maksudku, hmm…, kenapa kita tidak menjalin hubungan yang lebih dekat lagi”,
jelas wanita itu.

Edo semakin penasaran, ia memberanikan dirinya bertanya, “Maksud ibu…, mm…,
ki…, ki…, kita berselingkuh?”, ia berkata sambil memberanikan dirinya
menatap wanita paruh baya itu.
“Yah…, kita menjalin hubungan cinta”, jawab dokter Miranti enteng.
“Tapi ibu wanita bersuami, ibu punya keluarga”.
“Ya…, tapi sudah hancur, tak ada harapan lagi. Kalau suamiku bisa mencicipi
gadis muda, kenapa aku tidak bisa?”, lanjutnya semakin berani, ia bahkan
merangkul pundak pemuda itu. Edo hanya terpaku.
“Ta…, tapi, Bu…”.
“Seumur perkawinanku, aku hanya merasakan derita, Do. Aku ingin kejantanan
sejati dari seorang pria. Dan pria itu adalah kamu, Do”, lalu ia beranjak dari
tempat duduknya mendekati Edo. Dengan mesra diberinya pemuda itu sebuah kecupan.
Edo masih tak bereaksi, ia seperti tak mempercayai kejadian itu.
“Apakah saya mimpi?”, katanya konyol.
“Tidak, Do. Kamu nggak mimpi, ini aku, Dokter Miranti yang kamu kagumi”.
“Tapi, Bu.., ibu sudah bersuami”.
“Tolong jangan katakan itu lagi Edo”.

Kemudian keduanya terpaku lama, sesekali saling menatap. Pikiran Edo berkecamuk
keras, ia tak tahu harus berkata apa lagi. Sebenarnya ia begitu gembira, tak
pernah ia bermimpi apapun. Namun ia masih merasa ragu.
“Apakah segampang ini?”, gumamnya dalam hati.
“Cantik sekali dokter ini, biarpun umurnya jauh lebih tua dariku tapi oh tubuh
dan wajahnya begitu menggiurkan, sudah lama aku memimpikan bercinta dengan
wanita istri pejabat seperti dia. Tapi…”, hatinya bertanya-tanya. Sementara
suasana vacum itu berlangsung begitu lama. Kini mereka duduk dalam posisi saling
bersentuhan. Baru sekitar tiga puluh menit kemudian dokter Miranti tiba-tiba
berdiri.

“Do, saya ingin ngobrol lebih banyak lagi, tapi nggak di sini, kamu temui saya
di Hotel Hyatt. Saya akan memesan kamar di situ. Selamat malam”, serunya
kemudian berlalu meninggalkan Edo yang masih terpaku.
Pemuda itu masih terlihat melamun sampai seorang pelayan restoran datang
menyapanya.
“Pak Edo, bapak mau pesan lagi?”.
“Eh…, oh nggak…, nggak, aduh saya kok ngelamun”, jawabnya tergagap
mengetahui dirinya hanya terduduk sendiri.
“Teman Bapak sudah tiga puluh menit yang lalu pergi dari sini”, kata pelayan itu.
“Oh ya?”, sahut Edo seperti orang bodoh. Pelayan itu mengangkat bahunya sambil
berlalu.
“Eh…, billnya!”, panggil Edo.
“Sudah dibayar oleh teman Bapak”, jawab pelayan itu singkat.
Kini Edo semakin bingung, ia masih merasakan getaran di dadanya. Antara percaya
dan tidak. Ia kemudian melangkah ke lift dan turun ke tempat parkir. Hanya satu
kalimat dokter Miranti yang kini masih terngiang di telinganya. Hotel Grand
Hyatt!
Dengan tergesa-gesa ia menuju ke arah mobilnya. Perjalanan ke hotel yang
dimaksud wanita itu tak terasa olehnya, kini ia sudah sampai di depan pintu
kamar yang ditanyakannya pada receptionis. Dengan gemetar ia menekan bel di
pintu kamar itu, pikirannya masih berkecamuk bingung.

“Masuk, Do”, sambut dokter Miranti membuka pintu kamarnya. Edo masuk dan
langsung menatap dokter Miranti yang kini telah mengenakan gaun tidur sutra yang
tipis dan transparan. Ia masih tampak terpaku.
“Do, ini memang hari pertemuan kita yang pertama tapi apakah salahnya kalau kita
sama-sama saling membutuhkan”, kata dokter Miranti membuka pembicaraan.
“Cobalah realistis, Do. Kamu juga menginginkan ini kan?”, lanjut wanita itu
kemudian mendudukkan Edo di pinggir tempat tidur luas itu.
Edo masih tampak bingung sampai sang dokter memberinya kecupan di bibirnya, ia
merasakan seperti ada dorongan untuk membalasnya.
“Oh…, Bu”, desahnya sambil kemudian merangkul tubuh bongsor dokter Miranti.
Dadanya masih bergetar saat merasakan kemesraan wanita itu. Dokter Miranti
kemudian memegang pundaknya dan melucuti pakaian pemuda itu. Dengan perlahan Edo
juga memberanikan diri melepas ikatan tali gaun tidur sutra yang dikenakan sang
dokter. Begitu tampak buah dada dokter Miranti yang besar dan ranum itu, Edo
terhenyak.
“Oh…, indahnya susu wanita ini”, gumamnya dalam hati sambil lalu meraba
payudara besar yang masih dilapisi BH itu. Tangan kirinya berusaha melepaskan
kancing BH di punggung dokter Miranti. Ia semakin terbelalak saat melihat bentuk
buah dada yang kini telah tak berlapis lagi. Tanpa menunggu lagi nafsu pemuda
itu bangkit dan ia segera meraih buah dada itu dan langsung mengecupnya.
Dirasakannya kelembutan susu wanita cantik paruh baya itu dengan penuh perasaan,
ia kini mulai menyedot puting susu itu bergiliran.

“Ooohh…, Edo…, nikmat sayang…., mm sedot terus sayang ooohh, ibu sayang
kamu, Do…, ooohh”, desah dokter Miranti yang kini mendongak merasakan sentuhan
lidah dan mulut Edo yang menggilir kedua puting susunya. Tangan wanita itupun
mulai meraih batang kemaluan Edo yang sudah tegang sedari tadi, ia terhenyak
merasakan besar dan panjangnya penis pemuda itu.
“Ohh…, besarnya punya kamu, Do. Tangan ibu sampai nggak cukup menggenggamnya”,
seru dokter Miranti kegirangan. Ia kemudian mengocok-ngocokkan penis itu dengan
tangannya sambil menikmati belaian lidah Edo di sekitar payudara dan lehernya.

Kemaluan Edo yang besar dan panjang itu kini tegak berdiri bagai roket yang siap
meluncur ke angkasa. Pemuda yang sebelumnya belum pernah melakukan hubungan seks
itu semakin terhenyak mendapat sentuhan lembut pada penisnya yang kini tegang.
Ia asyik sekali mengecupi sekujur tubuh wanita itu, Edo merasakan sesuatu yang
sangat ia dambakan selama ini. Ia tak pernah membayangkan akan dapat menikmati
hubungan seks dengan wanita yang sangat ia kagumi ini, ia yang sebelumnya bahkan
hanya menonton film biru itu kini mempraktekkan semua yang ia lihat di dalamnya.
Hatinya begitu gembira, sentuhan-sentuhan lembut dari tangan halus dokter
Miranti membuatnya semakin terlena.

Dengan mesra sekali wanita itu menuntun Edo untuk menikmati sekujur tubuhnya
yang putih mulus itu. Dituntunnya tangan pemuda itu untuk membelai lembut buah
dadanya, lalu bergerak ke bawah menuju perutnya dan berakhir di permukaan
kemaluan wanita itu. Edo merasakan sesuatu yang lembut dan berbulu halus dengan
belahan di tengahnya. Pemuda itu membelainya lembut sampai kemudian ia merasakan
cairan licin membasahi permukaan kemaluan dokter Miranti. Ia menghentikan
gerakannya sejenak, lalu dengan perlahan sang dokter membaringkan tubuhnya dan
membuka pahanya lebar hingga daerah kemaluan yang basah itu terlihat seperti
menantang Edo. Pemuda itu terbelalak sejenak sebelum kemudian bergerak menciumi
daerah itu, jari tangan dokter Miranti kemudian menarik bibir kemaluannya
menjadi semakin terbuka hingga menampakkan semua isi dalam dinding vaginanya.
Edo semakin terangsang, dijilatinya semua yang dilihat di situ, sebuah benda
sebesar biji kacang di antara dinding vagina itu ia sedot masuk ke dalam
mulutnya. Hal itu membuat dokter Miranti menarik nafas panjang merasakan nikmat
yang begitu hebat.

“Ohh…, hmm…, Edo, sayang, ooohh”, desahnya mengiringi bunyi ciplakan bibir
Edo yang bermain di permukaan vaginanya.
Dengan gemas Edo menjilati kemaluan itu, sementara dokter Miranti hanya bisa
menjerit kecil menahan nikmat belaian lidah Edo. Ia hanya bisa meremas-remas
sendiri payudaranya yang besar itu sambil sesekali menarik kecil rambut Edo.
“Aduuuh sayang, ooohh nikmaat…, sayang…, oooh Edo…, ooohh pintarnya kamu
sayang…, ooohh nikmatnya…, ooohh sedooot teruuusss…, ooohh enaakkk…,
hmm…, ooohh”, jeritnya terpatah-patah.

Puas menikmati vagina itu, Edo kembali ke atas mengarahkan bibirnya kembali ke
puting susu dokter Miranti. Sang dokterpun pasrah saja, ia membiarkan dirinya
menikmati permainan Edo yang semakin buas saja. Daerah sekitar puting susunya
tampak sudah kemerahan akibat sedotan mulut Edo.
“ooohh, Edo sayang. Berikan penis kamu sama ibu sayang, ibu ingin mencicipinya”,
pinta wanita itu sambil beranjak bangun dan menggenggam kemaluan Edo. Tangannya
tampak bahkan tak cukup untuk menggenggamnya, ukurannya yang super besar dan
panjang membuat dokter Miranti seperti tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Wanita itu mulai mengulum penis Edo, mulutnya penuh sesak oleh kepala penis yang
besar itu, hanya sebagian kecil saja kemaluan Edo yang bisa masuk ke mulutnya
sementara sisanya ia kocok-kocokkan dengan telapak tangan yang ia lumuri air
liurnya. Edo kini menikmati permainan itu.
“Auuuhh…, Bu, ooohh…, enaakk aahh Bu dokter…, oooh nikmat sekali…, mm…,
oooh enaknya…, ooohh…, ssstt…, aahh”, desah pemuda itu mulai menikmatinya.

Sesaat kemudian, Dokter Miranti melepaskan kemaluan yang besar itu lalu
membaringkan dirinya kembali di pinggiran tempat tidur. Edo meraih kedua kaki
wanita itu dan langsung menempatkan dirinya tepat di depan selangkangan dokter
Miranti yang terbuka lebar. Dengan sangat perlahan Edo mengarahkan kemaluannya
menuju liang vagina yang menganga itu dan, “Sreett.., bleeesss”.
“Aduuuhh…, aauuu Edooo…, sa.., sa.., sakiiittt…, vaginaku robeeek aahh…,
sakiiit”, teriak dokter Miranti merasakan vaginanya yang ternyata terlalu kecil
untuk penis Edo yang super besar, ia merasakan vaginanya robek oleh terobosan
penis Edo. Lebih dahsyat dari saat ia mengalami malam pertamanya.
“Edo sayang, punya kamu besar sekali. Vaginaku rasanya robek do, main yang pelan
aja ya, sayang?”, pintanya lalu pada Edo.
“Ouuuhh…, ba.., ba.., baik, Bu”, jawab Edo yang tampak sudah merasa begitu
nikmat dengan masuknya penis ke dalam vagina dokter Miranti.

Kini dibelainya rambut sang dokter sambil menciumi pipinya yang halus dengan
mesra. Pemuda itu mulai menggerakkan penisnya keluar masuk vagina dokter Miranti
dengan perlahan sekali sampai beberapa menit kemudian rasa sakit yang ada dalam
vagina wanita itu berubah menjadi nikmat, barulah Edo mulai bergerak menggenjot
tubuh wanita itu dengan agak cepat. Gerakan tubuh mereka saling membentur
mempertemukan kedua kemaluan mereka. Nafsu birahi mereka tampak begitu membara
dari gerakan yang semakin lama semakin menggairahkan, teriakan kecil kini telah
berubah menjadi desah keras menahan nikmatnya hubungan seks itu.

Keduanya tampak semakin bersemangat, saling menindih bergilir menggenjot untuk
meraih tahap demi tahap kenikmatan seks itu. Edo yang baru pertama kali
merasakan nikmatnya hubungan seks itu benar-benar menikmati keluar masuknya
penis besar itu ke dalam liang vagina sang dokter yang semakin lama menjadi
semakin licin akibat cairan kelamin yang muali melumasi dindingnya. Demikian
pula halnya dengan dokter Miranti. Ia begitu tampak kian menikmati goyangan
tubuh mereka, ukuran penis Edo yang super besar dan terasa merobek liang
vaginanya itu kini menjadi sangat nikmat menggesek di dalamnya. Ia berteriak
sejadi-jadinya, namun bukan lagi karena merasa sakit tapi untuk mengimbangi
dahsyatnya kenikmatan dari penis pemuda itu. Tak pernah ia bayangkan akan dapat
menemukan penis sebesar dan sepanjang milik Edo, penis suaminya yang bahkan ia
tahu sering meminum obat untuk pembesar alat kelamin tak dapat dibandingkan
dengan ukuran penis Edo. Baru pertama kali ini ia melihat ada kemaluan sebesar
itu, panjang dan keras sekali.

Bunyi teriakan nyaring bercampur decakan becek dari kedua alat kelamin mereka
memenuhi ruangan luas di kamar suite hotel itu. Desahan mereka menahan
kenikmatan itu semakin memacu gerakan mereka menjadi kian liar.
“Ooohh…, ooohh…, ooohh…, enaak…, oooh…, enaknya bu…, ooohh nikmat
sekali ooohh”, desah Edo.
“mm…, aahh…, goyang terus, Do…, ibu suka sama punya kamu, ooohh…,
enaknya, sayang ooohh…, ibu sayang kamu Edo…, ooohh”, balas dokter Miranti
sambil terus mengimbangi genjotan tubuh pemuda itu dengan menggoyang pinggulnya.

Lima belas menit lebih mereka melakukannya dengan posisi itu dimana Edo menindih
tubuh sang dokter yang mengapit dengan pahanya. Kini saatnya mereka ingin
mengganti gaya.
“Ouuuhh Edo sayang, ganti gaya yuuuk?”, ajak sang dokter sambil menghentikan
gerakannya.
“Baik, Bu”, jawab pemuda itu mengiyakan.
“Kamu di bawah ya sayang? Ibu pingin goyang di atas tubuh kamu”, katanya sambil
menghentikan gerakan tubuh Edo, pemuda itu mengangguk sambil perlahan melepaskan
penisnya dari jepitan vagina dokter Miranti. Kemudian ia duduk sejenak mengambil
nafas sambil memandangi tubuh wanita itu.
“uuuh, cantiknya wanita ini”, ia bergumam dalam hati lalu berbaring menunggu
dokter Miranti yang sudah siap menungganginya.

Kini wanita itu berjongkok tepat di atas pinggang Edo, ia sejenak menggenggam
kemaluan pemuda itu sebelum kemudian memasukkannya kembali ke dalam liang
vaginanya dengan perlahan dan santai. Kembali ia mendesah merasakan penis itu
masuk menembus dinding kemaluannya dan menerobos masuk sampai dasar liang vagina
yang terasa sempit oleh Edo.
“Ooouuuhh…”, desahnya memulai gerakan menurun-naikkan pinggangnya di atas
tubuh pemuda itu.
Edo meraih payudara montok yang bergantungan di dada sang dokter, sesekali ia
meraih puting susu itu dengan mulutnya dan menyedot-nyedot nikmat.

Keduanya kembali terlibat adegan yang lebih seru lagi, dengan liar dokter
Miranti menggoyang tubuh sesuka hati, ia tampak seperti kuda betina yang benar-benar
haus seks. Ia yang baru kali ini menikmati hubungan seks dengan lelaki selain
suaminya itu benar-benar tampak bergairah, ditambah dengan ukuran kemaluan Edo
yang super besar dan panjang membuatnya menjadi begitu senang. Dengan sepenuh
hati ia raih kenikmatan itu detik demi detik. Tak semili meterpun ia lewatkan
kenikmatan penis Edo yang menggesek dinding dalam kemaluannya. Ia semakin
berteriak sejadi-jadinya.
“Aahh…, ooohh…, aahh…, ooohh…, ooohh…, enaak…, ooohh…, nikmaatt…,
sekali…, Edo sayaanngg…, ooohh Edo…, Do…, enaak sayang ooohh”, teriaknya
tak karuan dengan gerakan liar di atas tubuh pemuda itu sembari menyebut nama
Edo. Ia begitu menyukai pemuda itu.
“Ooohh Bu dokter…, ooohh…, ibu juga pintar mainnya…, ooohh, Bu dokter
cantik sekali”, balas Edo.
“Remas susu ibu, Do. ooohh…, sedot putingnya sayang…, ooohh pintarnya kamu,
oooh…, ibu senang sama punya kamu, ooohh…, nikmatnya sayang, ooohh…,
panjang sekali, ooohh…, enaak”, lanjut sang dokter dengan gerakan yang semakin
liar. Edo mengimbangi gerakan itu dengan mengangkat-angkat pantatnya ke arah
pangkal paha dokter Miranti yang mengapitnya itu. Ia terus menghujani daerah
dada sang dokter yang tampak begitu disenanginya, puting susu itupun menjadi
kemerahan akibat sedotan mulut Edo yang bertubi-tubi.

Namun beberapa saat kemudian sang dokter tampak tak dapat lagi menahan rasa
nikmat dari penis pemuda itu. Ia yang selama dua puluh menit menikmati permainan
itu dengan garang, kini mengalami ejakulasi yang begitu hebat. Gerakannya
berubah semakin cepat dan liar, diremasnya sendiri buah dada montoknya sambil
lebih keras lagi menghempaskan pangkal selangkangannya pada penis Edo hingga
sekitar dua menit berlalu ia berteriak panjang sebelum kemudian menghentikan
gerakannya dan memeluk tubuh pemuda itu.
“Ooohh…, ooohh…, aauu, aku keluarr…, Edo…, aahh…, aah…, aku, nggak
kuat lagi aku…, Do…, ooohh…, enaaknya…, sayang, ooohh…, Edo sayang…,
hhuuuh…, ibu nggak tahan lagi”, jeritnya panjang sambil memeluk erat tubuh Edo,
cairan kelamin dalam rahimnya muncrat memenuhi liang vagina di mana penis Edo
masih tegang dan keras.
“Ooohh nikmat bu…, ooohh punya ibu tambah licin dan nikmat…, ooohh…,
nikmat Bu dokter, ooohh…, semakin nikmat sekali Bu dokter, ooohh…, enaak,
mm…, ooohh…, uuuhh…, ooohh…, ooohh, nikmat sekali…, uuuhh…, Bu
dokter cantik…, aauuuhh…, ssshh nikmat bu”, desah Edo merasakan kenikmatan
dalam liang vagina sang dokter yang tengah mengalami ejakulasi, vagina itu
terasa makin menjepit penisnya yang terus saja menggesek dinding vagina itu.
Kepala penisnya yang berada jauh di dalam liang vagina wanita itu merasakan
cairan hangat menyembur dan membuat liang vagina sang dokter terasa semakin
nikmat dan licin.

Pemuda itu membalas pelukan dokter Miranti yang tampak sudah tak sanggup lagi
menggoyang tubuhnya di atas tubuh Edo. Sejenak gerakan mereka terhenti meski Edo
sedikit kecewa karena saat itu ia rasakan vagina sang dokter sangat nikmat. Ia
berusaha menahan birahinya yang masih saja membara dengan memberi ciuman mesra
pada wanita cantik itu.
“Oh Edo sayang, kamu kuat sekali mainnya sayang, aku puas sekali, ibu betul-betul
merasa seperti berada di tempat yang paling indah dengan sejuta kenikmatan cinta.
Kamu betul-betul jago”, katanya pada Edo sambil memandang wajah pemuda itu tepat
di depan matanya, dipeluknya erat pinggang Edo untuk menahan goyangan penis di
selangkangannya.

Sejenak Dokter Miranti beristirahat di pelukan pemuda itu, ia terus memuji
kekuatan dan kejantanan Edo yang sebelumnya belum pernah ia dapatkan sekalipun
dari suaminya. Matanya melirik ke arah jam dinding di kamar itu.
“Edo..”, sapanya memecah keheningan sesaat itu.
“Ya, bu?”, jawab Edo sambil terus memberi kecupan pada pipi dan muka sang dokter
yang begitu ia senangi.
“Sudah satu jam lamanya kita bermain, kamu hebat sekali, Do”, lanjutnya terheran-heran.
“Saya baru sekali ini melakukannya, Bu”, jawab Edo.
“Ah masa sih, bohong kamu, Do”, sergah dokter Miranti sambil membalas ciuman Edo
di bibirnya.
“Benar kok, Bu. Sumpah saya baru kali ini yang pertama kalinya”, Edo bersikeras.
“Tapi kamu mainnya kok hebat banget? Dari mana kamu tahu gaya-gaya yang tadi
kita lakukan”, lanjut sang dokter tak percaya.
“Saya hanya menonton film, Bu”, jawab pemuda itu.
Beberapa menit mereka ngobrol diselingi canda dan cumbuan mesra yang membuat
birahi sang dokter bangkit untuk mengulangi permainannya. Dirasakannya dinding
vagina yang tadinya merasa geli saat mengalami ejakulasi itu mulai terangsang
lagi. Edopun merasakan gejala itu dari denyutan vagina sang dokter. Edo
melepaskan pelukannya, lalu menempatkan diri tepat di belakang punggung sang
dokter, tangannya nenuntun penis besar itu ke arah permukaan lubang kemaluan
dokter Miranti yang hanya pasrah membiarkannya mengatur gaya sesuka hati. Pemuda
itu kini berada tepat di belakang menempel di punggung sang dokter, lalu
perlahan sekali ia memasukkan penis besarnya ke dalam liang sang dokter dari
arah belakang pantatnya.

“Ooohh, pintarnya kamu Edo…, oooh ibu suka gaya ini, mm…, goyang teruuuss…,
aahh, nikmat do, ooohh…, sampai pangkalnya terusss, ooohh…, enaak..tarik
lagi sayang ooohh, masukin lagii ooohh, sampai pangkal nya Edo…, ooohh, sayang
nikmat sekali, ooohh…, oohh Edo…, ooohh…, mm…, Edo…, sayang”, desah
sang dokter begitu merasakannya, atas bawah tubuhnya merasakan kenikmatan itu
dengan sangat sempurna. Tangan Edo meremas susunya sementara penis pemuda itu
tampak jelas keluar masuk liang vaginanya. Keduanya kembali terlihat bergoyang
mesra meraih detik demi detik kenikmatan dari setiap gerakan yang mereka lakukan.
Demikian juga dengan Edo yang menggoyang dari arah belakang itu, ia terus
meremas payudara montok sang dokter sambil memandang wajah cantik yang
membuatnya semakin bergairah. Kecantikan Dokter Miranti yang sangat menawan itu
benar-benar membuat gairah bercinta Edo semakin membara. Dengan sepenuh hati
digoyangnya tubuh bahenol dan putih mulus itu sampai-sampai suara decakan
pertemuan antara pangkal pahanya dan pantat besar sang dokter terdengar keras
mengiringi desahan mulut mereka yang terus mengoceh tak karuan menikmati
hebatnya rasa dari permainan itu.

Sekitar dua puluh menit berlalu tampak kedua insan itu sudah tak dapat menahan
lagi rasa nikmat dari permainan mereka hingga kini keduanya semakin berteriak
keras sejadi-jadinya. Tampaknya mereka ingin segera menyelesaikan permainannya
secara bersamaan.
“Huuuh…, ooohh…, ooohh…, aahh…, ooohh…, nikmat sekali Do, goyang lagi
sayang, ooohh…, ibu mau keluar sebentar lagi sayang, ooohh…, goyang yang
keras lagi sayang, ooohh…, enaknya penis kamu, ooohh…, ibu nggak kuat lagi
oooh”, jerit dokter Miranti.
“Uuuhh…, aahh…, ooohh, mm…, aah…, saya juga mau keluar Bu, ooohh…,
dokter Miranti sayaang, ooohh…, mm…, enaakk sekali, ooohh…, ooohh, dokter
sayang, ooohh…, dokter cantik, ooohh…, enaakk…, dokter dokter sayang,
ooohh…, vagina dokter juga nikmat sekali, oooh”, teriak Edo juga.
“Ooohh enaknya sayang, ooohh…, pintar kamu sanyang, ooohh…, kocok terus,
oooh…, genjot yang keraass, ooohh”.
“Ooohh dokter, susunya…, ooohh…, saya mau sedot, ooohh”, Edo meraih susu
sang dokter lalu menyedotnya dari arah samping.
“Oooh Edo pintarnya kamu sayang, ooohh…, nikmatnya, ooohh…, ibu sebentar
lagi keluar sayang, ooohh…, keluarin samaan yah, ooohh”, ajak sang dokter.
“Saya juga mau keluar Bu, yah kita samaan Bu dokter, ooohh…, vagina ibu nikmat
sekali, ooohh…, mm…, enaknya, ooohh”, teriak Edo sambil mempercepat lagi
gerakannya.

Namun beberapa saat kemudian dokter Miranti berteriak panjang mengakhiri
permainannya.
“Aauuuwww…, ooohh…, Edooo, ibu nggak tahan lagiii…, keluaar…, aauhh
nikmatnya sayang, ooohh”, jeritnya panjang sambil membiarkan cairan kelaminnya
kembali menyembur ke arah penis Edo yang masih menggenjot dalam liang
kemaluannya. Edo merasakan gejala itu lalu berusaha sekuat tenaga untuk membuat
dirinya keluar juga, beberapa saat ia merasakan vagina sang dokter menjepit
kemaluannya keras diiringi semburan cairan mani yang deras ke arah penisnya. Dan
beberapa saat kemudian ia akhirnya berteriak panjang meraih klimaks permainan.
“Ooohh…, aahh…, oooww…,aahh, dokter…, Miranti…, sayyaang…, oooh…,
enaak sekalii…, ooohh saya juga keluaarr, ooohh”, jeritnya panjang sesaat
setelah sang dokter mengakhiri teriakannya.
“Edo sayang, ooohh…, jangan di dalam sayang, ooohh…, ibu nggak pakai alat
kontrasepsi, ooohh…, sini keluarin di luar Edo, sayang berikan pada ibu, oooh…,
enaknya, cabut sayang. Semprotkan ke Ibu, ooohh”, pintanya sembari merasakan
nikmatnya denyutan penis Edo. Ia baru sadar dirinya tak memakai alat kontrasepsi
untuk mencegah kehamilan. Didorongnya tubuh Edo sambil meraih batang penis yang
sedang meraih puncak kenikmatan itu.

Kemudian pemuda itu mencabut penisnya dengan tergesa-gesa dari liang kemaluan
sang dokter dan, “Cropp bresss…, crooottt.., crooott.., creeess”, cairan
kelamin Edo menyembur ke arah wajah sang dokter. Edo berdiri mengangkang di atas
tubuhnya dan menyemburkan air maninya yang sangat deras dan banyak ke arah badan
dan muka sang dokter. Sebagian cairan itu bahkan masuk ke mulut sang dokter.
“Ohh…, sayang,terus ooohh…, berikan pada ibu, ooohh…, hmm…, nyam…,
enaknya, ooohh…, semprotkan pada ibu, ooohh…, ibu ingin meminumnya Edo,
ooohh…, enaakkknya sayang, oooh…, lezat sekali”, jerit wanita itu kegirangan
sambil menelan habis cairan mani pemuda itu ke dalam mulutnya, bahkan belum puas
dengan itu ia kembali meraih batang penis Edo dan menyedot keras batang
kemaluannya dan menelan habis sisa-sisa cairan itu hingga Edo merasakan semua
cairannya habis.

“Ooohh Bu dokter, ooohh dokter, saya puas sekali bu”, kata Edo sembari merangkul
tubuh sang dokter dan kembali berbaring di tempat tidur.
“Kamu kuat sekali Edo, sanggup membuat ibu keluar sampai dua kali, kamu benar-benar
hebat dan pintar mainnya, ibu suka sekali sama kamu. Nggak pernah sebelumnya ibu
merasakan kenikmatan seperti ini dengan suami ibu. Dia bahkan tak ada apa-apanya
dibanding kamu”, seru sang dokter pada Edo sambil mencium dada pemuda itu.
“Saya juga benar-benar puas sekali, Bu. Ibu memberikan kenikmatan yang nggak
pernah saya rasakan sebelumnya. Sekarang saya tahu bagaimana nikmatnya bercinta”,
jawab Edo sekenanya sambil membalas ciuman dokter Miranti. Tangannya membelai
halus permukaan buah dada sang dokter dan memilin-milin putingnya yang lembut.
“Tapi apakah ibu tidak merasa berdosa pada suami Ibu, kita sedang berselingkuh
dan ibu punya keluarga”, sergah Edo sambil menatap wajah manis dokter Miranti.
“Apakah aku harus setia sampai mati sementara dia sekarang mungkin sedang asyik
menikmati tubuh wanita-wanita lain?”.
“Benarkah?”.
“Aku pernah melihatnya sendiri, Do. Waktu itu kami sedang berlibur di Singapura
bersama kedua anakku”, lanjut sang dokter memulai ceritanya pada Edo.

Edo hanya terdiam mendengar cerita dokter Miranti. Ia menceritakan bagaimana
suaminya memperkosa seorang pelayan hotel tempat mereka menginap waktu ia dan
anak-anaknya sedang berenang di kolam hotel itu. Betapa terkejutnya ia saat
menemukan sang pelayan keluar dari kamarnya sambil menangis histeris dan terisak
menceritakan semuanya pada manajer hotel itu dan dirinya sendiri.
“Kamu bisa bayangkan, Do. Betapa malunya ibu, sudah bertahan-tahun kami hidup
bersama, dengan dua orang anak, masih saja dia berbuat seperti itu, dasar lelaki
kurang ajar, bangsat dia itu…”, ceritanya pada Edo dengan muka sedih.
“Maaf kalau saya mengungkap sisi buruk kehidupan ibu dan membuat ibu bersedih”.
“Tak apa, Do. Ini kenyataan kok”.
Dilihatnya sang dokter meneteskan air mata, “Saya tidak bermaksud menyinggung
ibu, oh..”, Edo berusaha menenangkan perasaannya, ia memeluk tubuh sang dokter
dan memberinya beberapa belaian mesra. Tak disangkanya dibalik kecantikan wajah
dan ketenaran sang dokter ternyata wanita itu memiliki masalah keluarga yang
begitu rumit.
“Tapi saya yakin dengan tubuh dan wajah ibu yang cantik ini ibu bisa dapatkan
semua yang ibu inginkan, apalagi dengan permaian ibu yang begitu nikmat seperti
yang baru saja saya rasakan, bu”, Kata Edo menghibur sang dokter.
“Ah kamu bisa aja, Do. Ibu kan sudah nggak muda lagi, umur ibu sekarang sudah
empat puluh tiga tahun, lho?”.
“Tapi, Bu terus terang saja saya lebih senang bercinta dengan wanita dewasa
seperti ibu. Saya suka sekali bentuk tubuh ibu yang bongsor ini”, lanjut pemuda
itu sambil memberikan ciuman di pipi sang dokter, ia mempererat pelukannya.
“Kamu mau pacaran sama ibu?”.
“Kenurut ibu apa yang kita lakukan sekarang ini bukannya selingkuh?”, tanya Edo.
“Kamu benar suka sama ibu?”.
“Benar, Bu. Sumpah saya suka sama Ibu”, Edo mengecup bibir wanita itu.
“Oh Edo sayang, ibu juga suka sekali sama kamu. Jangan bosan yah, sayang?”.
“Nggak akan, bu. Ibu begitu cantik dan molek, masa sih saya mau bosan. Saya sama
sekali tidak tertarik pada gadis remaja atau yang seumur. Ibu benar-benar sesuai
seperti yang saya idam-idamkan selama ini. Saya selalu ingin bermain cinta
dengan ibu-ibu istri pejabat. Tubuh dan goyang Bu dokter sudah membuat saya
benar-benar puas”.
“Mulai sekarang kamu boleh minta ini kapan saja kamu mau, Do. Ibu akan berikan
padamu”, jawab sang dokter sambil meraba kemaluan Edo yang sudah tampak tertidur.
“Terima kasih, Bu. Ibu juga boleh pakai saya kapan saja ibu suka”.
“Ibu sayang kamu, Do”.
“Saya juga, Bu. oooh dokter Miranti…”, desah pemuda itu kemudian merasakan
penisnya teremas tangan sang dokter.
“Oooh Edo, sayang..”, balas dokter Miranti menyebut namanya mesra.

Kembali mereka saling berangkulan mesra, tangan mereka meraih kemaluan masing-masing
dan berusaha membangkitkan nafsu untuk kembali bercinta. Edo meraih pantat sang
dokter dengan tangan kirinya, mulutnya menyedot bibir merah sang dokter. “Oooh
dokter Miranti, sayang…, ooohh”, desah Edo merasakan penisnya yang mulai
bangkit lagi merasakan remasan dan belaian lembut tangan sang dokter. Sementara
tangan pemuda itu sendiri kini meraba permukaan kemaluan dokter Miranti yang
mulai terasa basah lagi.
“ooohh…, uuuhh Edo sayang…, nikmat.sayang, ooohh Edo…, Ibu pingin lagi, Do,
ooohh…, kita main lagi sayang, ooohh”, desah manja dan menggairahkan terdengar
dari mulut dokter Miranti.
“Uuuhh…, saya juga kepingin lagi Bu dokter, ooohh…, Ibu cantik sekali, oooh…,
dokter Miranti sayang, ooohh…, remas terus penis saya Bu, ooohh”.
“Ibu suka penis kamu Do, bentuknya panjang dan besar sekali. ooouuuhh…, baru
pertama ini ibu merasakan penis seperti ini”, suara desah dokter miranti memuji
kemaluan Edo.

Begitu mereka tampak tak tahan lagi setelah melakukan pemanasan selama lima
belas menit, lalu kembali keduanya terlibat permainan seks yang hebat sampai
kira-kira pukul empat dini hari. Tak terasa oleh mereka waktu berlalu begitu
cepat hingga membuat tenaga mereka terkuras habis. Dokter Miranti berhasil
meraih kepuasan sebanyak empat kali sebelum kemudian Edo mengakhiri permainannya
yang selalu lama dan membuat sang dokter kewalahan menghadapinya. Kejantanan
pemuda itu memang tiada duanya. Ia mampu bertahan selama itu, tubuh sang dokter
yang begitu membuatnya bernafsu itu digoyangnya dengan segala macam gaya yang ia
pernah lihat dalam film porno. Semua di praktikkan Edo, dari ‘doggie style’
sampai 69 ia lakukan dengan penuh nafsu. Mereka benar-benar mengumbar nafsu
birahi itu dengan bebas. Tak satupun tempat di ruangan itu yang terlewat, dari
tempat tidur, kamar mandi, bathtub, meja kerja, toilet sampai meja makan dan
sofa di ruangan itu menjadi tempat pelampiasan nafsu seks mereka yang membara.

Akhirnya setelah melewati ronde demi ronde permainan itu mereka terkulai lemas
saling mendekap setelah Edo mengalami ejakulasi bersamaan dengan orgasme dokter
Miranti yang sudah empat kali itu. Dengan saling berpelukan mesra dan kemaluan
Edo yang masih berada dalam liang vagina sang dokter, mereka tertidur pulas.

Malam itu benar-benar menjadi malam yang sangat indah bagi keduanya. Edo yang
baru pertama kali merasakan kehangatan tubuh wanita itu benar-benar merasa puas.
Dokter Miranti telah memberinya sebuah kenikmatan yang selama ini sangat ia
dambakan. Bertahun-tahun lamanya ia bermimpi untuk dapat meniduri istri pejabat
seperti wanita ini, kini dokter Miranti datang dengan sejuta kenikmatan yang ia
berikan. Semalam suntuk penuh ia lampiaskan nafsu birahinya yang telah terpendam
sedemikian lama itu di tubuh sang dokter, ia lupa segalanya. Edo tak dapat
mengingat sudah berapa kali ia buat sang dokter meronta merasakan klimaks dari
hubungan seks itu. Cairan maninya terasa habis ia tumpahkan, sebagian di mulut
sang dokter dan sebagian lagi disiramkan di sekujur tubuh wanita itu.

Begitupun dengan dokter Miranti, baginya malam yang indah itu adalah malam
pertama ia merasakan kenikmatan seksual yang sesungguhnya. Ia yang tak pernah
sekalipun mengalami orgasme saat bermain dengan suaminya, kini merasakan sesuatu
yang sangat hebat dan nikmat. Kemaluan Edo dengan ukuran super besar itu telah
memberinya kenikmatan maha dahsyat yang takkan pernah ia lupakan. Belasan kali
sudah Edo membuatnya meraih puncak kenikmatan senggama, tubuhnya seperti rontok
menghadapi keperkasaan anak muda itu. Umur Edo yang separuh umurnya itu membuat
suasana hatinya sangat bergairah. Bagaimana tidak, seorang pemuda tampan dan
perkasa yang berumur jauh di bawahnya memberinya kenikmatan seks bagai seorang
ksatria gagah perkasa. Ia sungguh-sungguh puas lahir batin sampai-sampai ia
rasakan tubuhnya terkapar lemas dan tak mampu bergerak lagi, cairan kelaminnya
yang terus mengucur tiada henti saat permainan cinta itu berlangsung membuat
vaginanya terasa kering. Namun sekali lagi, ia merasa puas, sepuas-puasnya.

Sejak saat itu, dokter Miranti menjalin hubungan gelap dengan dengan Edo.
Kehidupan mereka kini penuh dengan kebahagiaan cinta yang mereka raih dari
kencan-kencan rahasia yang selalu dilakukan kedua orang itu saat suami dokter
Miranti tidak di rumah. Di hotel, di apartement Edo atau bahkan di rumah sang
dokter mereka lakukan perselingkuhan yang selalu diwarnai oleh hubungan seks
yang seru tak pernah mereka lewatkan.

Terlampiaskan sudah nafsu seks dan dendam pada diri mereka masing-masing. Dokter
Miranti tak lagi mempermasalahkan suaminya yang doyan perempuan itu. Ia bahkan
tak pernah lagi mau melayani nafsu birahi suaminya dengan serius. Setiap kali
lelaki itu memintanya untuk bercinta ia hanya melayaninya setengah hati. Tak ia
hiraukan lagi apakah suaminya puas dengan permainan itu, ia hanya memberikan
pelayanan sekedarnya sampai lelaki botak dan berperut besar itu mengeluarkan
cairan kelaminnya dalam waktu singkat kurang dari tiga menit. Ingin rasanya
dokter Miranti meludahi muka suaminya, lelaki tak tahu malu yang hanya
mengandalkan uang dan kekuasaan. Yang dengan sewenang-wenang membeli kewanitaan
orang dengan uangnya. Lelaki itu tak pernah menyangka bahwa istrinya telah jatuh
ke tangan seorang pemuda perkasa yang jauh melebihi dirinya. Ia benar-benar
tertipu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar